A. Pengantar
Dalam Sejarah Nasional Indonesia (SNI), ada satu babakan waktu yang disebut sebagai periode Perang Kemerdekaan atau Revolusi Kemerdekaan. Periode yang dimaksud, di mana di dalamnya terdapat berbagai peristiwa penting yang terjadi pada interval waktu tahun 1945-1949.
Pada periode Perang Kemerdekaan (PK) atau Revolusi Kemerdekaan (RK) pemerintah bersama rakyat bahu membahu berjuang mempertahankan kemerdekaan yang akan direbut kembali oleh Belanda dengan bantuan sekutu-sekutunya.
Pemerintah dalam mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949 menggunakan dua strategi perjuangan, yaitu strategi perjuangan melalui kekuatan fisik (tempur), dan strategi perjuangan melalui diplomasi (perundingan).
Kedua strategi perjuangan tersebut dalam pelaksanaannya, terkadang ada dalam dinamika yang menunjukkan soliditas, tetapi terkadang ada dalam ketidakterpaduan, bahkan ada sentimen saling mencurigai diantara keduanya.
Sejarah Perang Kemerdekaan (SPK), kendati tempo waktunya relativ pendek, namun periode tersebut merupakan periode yang sangat menentukan untuk mempertahankan kemerdekaan. Ketika itu, saking heroiknya sehingga lahir jargon perjuangan yang selalu dikumandangkan "merdeka atau mati". Kata-kata tersebut terucap sebagai suatu komitmen, janji suci dari para pejuang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
B. Perjuangan Fisik
Perjuangan fisik yang dimaksudkan di sini yaitu suatu strategi perjuangan yang dikelola dan dimotori oleh tentara dengan melibatkan tenaga bantuan secara sukarela dari rakyat. Bersatunya tentara bersama rakyat dalam membangun kekuatan ini merupakan suatu tindakan yang sangat tepat dan teruji kehandalannya di medan tempur.
Perjuangan fisik terselenggara mendahului dari perjuangan diplomasi. Hal ini terjadi tidak bisa ditawar-tawar lagi, karena ketika proklamasi dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, kekuatan bersenjata pasukan Jepang dinyatakan masih utuh. Dan ketika itu, pasukan Jepang yang sudah kalah dalam pertempuran, kemudian mendapat tekanan dari Sekutu, agar tentara Jepang mempertahankan status quo. Dengan adanya tekanan tersebut, mengakibatkan pasukan Jepang harus bertempur melawan tentara dan rakyat pejuang yang berusaha untuk melucuti senjata pasukan Jepang.
Upaya mempertahankan kemerdekaan semakin hari semakin berat lagi, hal ini terutama setelah mendaratnya pasukan Sekutu pada pertengahan bulan September 1945. Ini suatu kenyataan historis yang harus dihadapi oleh pemerintah Indonesia yang baru berumur kurang lebih satu bulan.
Perlawanan tentara yang dibantu rakyat dalam menghadapi setidaknya tiga kekuatan pasukan asing (Jepang, Belanda dan Sekutu) diawal tahun kemerdekaan, telah menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat, dan menelan banyak korban dari kedua belah pihak. Dalam sejarah, pertempuran tersebut biasa dikonsepsikan dengan sebutan "pertempuran awal" antara tentara bersama rakyat Indonesia melawan tentara Jepang, Belanda, dan Sekutu.
Berbagai kejadian yang terkategorikan "pertempuran awal" diantaranya pertempuran: Medan Area, Puputan Margarana, Bandung Lautan Api, Tiga Hari Tiga Malam di Semarang, Bojongkokosan di Sukabumi, Surabaya, Bandung Selatan, dan lain-lain.
Di sini kiranya perlu disoroti mengenai keterlibatan rakyat bersama-sama tentara dalam pertempuran. Derajat partisipasi rakyat dalam pertempuran ini tidak harus selalu diartikan memanggul senjata. Namun keterlibatan rakyat dalam perjuangan ini lebih disesuaikan dengan situasi dan kemampuan rakyat saat itu. Orang kaya berpartisipasi dalam pertempuran bisa dengan cara menyumbangkan sebagian harta kekayaannya untuk membantu kelancaran perjuangan. Ibu-ibu berpartisipasi dengan cara menjadi juru masak di dapur umum. Para kiai di samping ikut bertempur di medan pertempuran, mereka juga memimpin doa di mesjid, surau atau di mana saja untuk kemenangan dan keselamatan para pejuang dalam pertempuran.
Partisipasi rakyat dalam pertempuran yang sepenuhnya berada di bawah komando tentara, keduanya berbaur untuk saling mengisi dan melengkapi. Keduanya memiliki komitmen yang sama, yaitu berjuang mempertahankan kemerdekaan. Bersatunya tentara dengan rakyat dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, dikemudian hari telah melahirkan semboyan, bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari kancah revolusi, yaitu lahir dari rakyat dan untuk rakyat. Dan selanjutnya, lahirnya konsepsi Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru, landasan historisnya berdasar kepada terpadunya perjuangan antara tentara dengan rakyat pada masa revolusi 1945-1949.
C. Perjuangan Diplomasi
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa ujung dari perjuangan fisik adalah diplomasi (perundingan), dan ujung dari diplomasi adalah terjadinya pelanggaran oleh pihak musuh terhadap hasil perundingan. Artinya begini, ketika para pejuang Indonesia melakukan perlawanan terhadap tentara musuh, yaitu pasukan Belanda dan sekutunya, dan ketika pasukan musuh merasa kewalahan menghadapinya, maka pihak musuh selanjutnya mengajak untuk menyelesaikan permasalahan di meja perundingan. Ini hanyalah akal-akalan belaka dari pihak musuh untuk mengelabui pemerintah dan para pejuang Indonesia. Sebab, ketika para diplomat dari pihak-pihak yang sedang bertikai mencari solusi di meja perundingan, sementara itu, pasukan musuh punya kesempatan mengatur strategi baru untuk melakukan gempuran selanjutnya. Itu diantaranya, strategi yang sering kali digunakan pihak Belanda dalam menghadapi para pejuang Indonesia pada masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.
Sesungguhnya, para pejuang yang berjuang di medan tempur tidak setuju menempuh perjuangan diplomatik. Hanya keinginannya tidak direspon oleh pemerintah, dengan alasan untuk menghindari banyaknya korban berjatuhan. Di samping itu, pemerintah saat itu sedang gencar-gencarnya menarik simpati negara-negara luar untuk memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia yang baru lahir.
Perjuangan diplomatik yang ditempuh pemerintah semasa Revolusi Kemerdekaan, diantaranya adalah perundingan Linggajati, Renvile, Roem van Roijen, dan Konferensi Meja Bundar (KMB). Dan sebelum perundingan Linggajati ada perundingan-perundingan awal yang mendahuluinya.
Perjuangan diplomasi mempunyai arti penting dalam upaya pemerintah mempertahankan kedaulatan negara dari rongrongan pihak musuh, kendati dalam pelaksanaannya dan hasilnya terkadang sangat merugikan pihak pemerintah. Seperti misalnya, hasil perundingan Linggajati dan Renville kita harus kehilangan beberapa daerah terutama di luar pulau Jawa.
Diberlakukannya dua strategi dalam usaha mempertahankan kemerdekaan pada masa Revolusi Kemerdekaan, perlu kita apresiasi secara bijak. Kedua strategi itu dalam pelaksanaannya berlangsung sangat sinergis, artinya keduanya bekerja saling melengkapi. Tapi terkadang sering kali terjadi saling mencurigai dan terkadang pula tumbuh persaingan tidak sehat diantara keduanya. Tan Malaka diantaranya salah seorang tokoh pejuang dijalur partai yang tidak menghendaki perjuangan jalur diplomasi.
D. Simpulan
Berdasar kepada uraian tersebut di atas, dapat dibuat kesimpulan, bahwa kedua strategi perjuangan yang dipakai dalam usaha mempertahankan kemerdekaan, keduanya telah memberikan kontribusi cukup besar untuk keberlangsungan negeri ini. Keduanya berjuang saling mengisi dan melengkapi. Dan keduanyapun telah menyumbangkan yang terbaik untuk negeri ini.